"Pajak ekspor yang tinggi hanya akan dinikmati Malaysia. Dengan ini kita kehilangan pasar karena terjadi ketidakpastian kebijakan pemerintah," kata Ketua AIMMI Adi Wisoko Kasman dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/6/2007).
Adi mencontohkan, misalnya PE untuk CPO 6,5 persen, crude olein sebagai turunannya juga dikenai PE sebesar 6,5 persen. Ini membuat para produsen memilih mengekspor CPO dalam bentuk mentah.
"Dampaknya, para pengolah atau prosesor minyak goreng mengalami kekurangan pasokan CPO sehingga terpaksa mengimpor crude olein dari Malaysia. Karena CPO diekspor ke Malaysia, lalu diolah menjadi crude olein dan diekspor kembali ke Indonesia," kata Adi.
Pengenaan PE yang dipukul rata juga disayangkan oleh sejumlah anggota Komisi VI DPR. Antara lain Efiyardi Asda dari FPPP.
"Turunan produk CPO yang juga kena 6,5 persen tidak ada gunanya. Karena tidak membuat para pengolah CPO termotivasi untuk membuat nilai tambah CPO di dalam negeri," kata Efiyardi Asda.
Menurut Efiyardi, seharusnya Indonesia membuat kebijakan CPO seperti Malaysia. Di Negeri Jiran itu, PE untuk CPO 19 persen. Sedangkan utnuk turunannya, tidak dikenal PE atau 0 persen. Alhasil, para investor termotivasi menginvestasikan dananya di Malaysia untuk memproduksi turunan CPO.
RDP tentang kenaikan harga minyak goreng ini dimulai pukul 21.00 WIB dan dihadiri oleh Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Kantor Pemasaran Bersama PTPN, dan Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI). Arin Widiyanti - detikFinance
Tidak ada komentar:
Posting Komentar